Selasa, 11 Desember 2012

THE US VS JOHN LENNON



The US vs John Lennon: Mengenang 30 Tahun Kematian John Lennon
John Lennon lebih dari sekadar musikalitas, tapi juga sikap. Tiga puluh tahun setelah kematiannya, akibat timah panas yang dimuntahkan dari pistol penggilanya Mark David Chapman, di depan apartemen mewahnya Dakota, New York, tak membunuh pesan-pesannya. ''They tried to kill John, but they couldn't because his message is still alive,'' kata Yoko Onno, istrinya. Toh dunia juga belum berubah. Mimpi melihat dunia lebih damai, dunia tanpa perang, dunia tanpa lapar, dunia tanpa sifat tamak manusia, dunia tanpa ideologi jauh dari terwujud. Sebagaimana yang ditulisnya di lagu Imagine. Mimpi? Tapi John bukan satu-satunya yang menginginkan bumi tanpa konflik, bumi tanpa perang. Bumi yang ramah buat penghuninya.
Di penghujung hidupnya, John memang berubah. Bubarnya The Beatles, pernikahannya dengan Yoko Onno membuatnya tak lagi menutup mata pada kondisi dunia yang compang-camping dan berdarah-darah di masa puncak kedewasaannya era 60-an. Zaman yang melahirkan generasi bunga, sebagai bentuk aksi terhadap perang yang menggila, dan ancaman bom nuklir. Invasi Amerika Serikat ke Vietnam. Munculnya blok barat dan timur, ideologi yang membuat dunia terbelah dua, membuatnya gelisah. Film dokumenter The US vs. John Lennon yang dirilis tahun 2006, mampu memotret evolusi seorang John Lennon. Dari anggota sebuah band raksasa, menjadi aktivis perdamaian sekaligus humanitarian.

Lagu-lagunya sarat dan sesak akan pesan perdamaian, bahkan menggugat. Bayangkan saat pemerintahan Nixon menyuruh dan membujuk orang muda di AS untuk ikut wajib militer, guna menambah pasukan di Vietnam, John bersikap dengan membuat lagu I Don`t Want To Be A Soldier. Sebuah lagu yang menohok kebijakan negara adikuasa. Upaya untuk menularkan perdamaian pada banyak orang, bukannya tak mengundang kritik. Bahkan Paul Mc Cartney, mantan anggota Beatles ikutan bereaksi menyindir lewat lagu Too Many People, Too many people preaching practices / Don’t let ‘em tell you what you want to be.
John sadar popularitasnya, bisa memengaruhi banyak orang. Bulan madunya bersama Yoko, disulapnya menjadi panggung perdamaian. Kamar tidur hotelnya, dibuka untuk umum. Di atas jendela kamar tidur, pamflet distemper dengan pesan-pesan perdamaian. John dan Yoko mengundang siapa saja untuk berdiskusi dan berdebat soal perdamaian dan antikekerasan. Dia sangat sadar, media yang haus akan pemberitaan dirinya, bisa dimanfaatkan untuk menyampaikan gagasan, menciptakan dunia lebih damai. Walaupun kritik tetap saja muncul. Apa yang mereka lakukan? Bagaimana mengubah dunia jika dari atas tempat tidur?
Inilah pemanfaatan status selebritas paling positif, yang pernah dilakukan. Dari sini jugalah lagu yang terkenal Give a Peace a Chance, direkam dari kamar hotel. Lagu yang dinyanyikan jutaan aktivis perdamaian ketika protes antiperang Vietnam kian menghebat di awal tahun 70-an. Tak hanya itu, ketika dunia tengah demam Natal, dia membuat Bilboard di tujuh kota penting dunia dengan pesan singkat, War Is Over, If You Want It Happy Christmas from John and Yoko.

Perkenalannya dengan aktivis anti perang Jerry Rubin, Bob Seale, David Dellinger di Amerika Serikat kian meresahkan penguasa, termasuk Nixon. Sang presiden khawatir John bakal meracuni pikiran orang muda dengan aksi anti perang dan gerakan perdamaiannya. ApalagI para aktivis tersebut kini punya sosok popular yang memudahkan penyampaian pesan dan kritik terhadap pemerintahan yang gila perang.
Keberadaannya di AS, dipertanyakan pihak imigrasi, permintaan untuk menjadi warga negara ditolak. Bahkan dia diancam dideportasi dengan alasan kepemilikan ganja. Berbagai upaya dilakukan untuk mengembalikan John ke kampung halamannya, Inggris. John memang mulai didengar, aksinya mulai diperhatikan. John Sinclair aktivis antiperang yang dihukum 10 tahun penjara, dibebaskan dua hari setelah John ikut gabung di konser pembebasan sang aktivis, Free John Now Rally di Ann Arbor's Crisler Arena December 1971. John menciptakan lagu khusus untuk Sinclair : If he had been a soldier man/ Shooting gooks in Vietnam/ If he was the CIA/ Selling dope and making hay/ He'd be free, they'd let him be/ Breatthing air, like you and me.

John Sinclair dalam film dokumenter itu mengaku, kehadiran dan lirik John yang membuatnya dibebaskan. “Lihat siapa itu yang menyanyikan lagu untuk John Sinclair, itu John Lennon dari The Baeatles, pasti ada hal yang salah terhadap penangkapan saya,” kata John Sinclair di film dokumenter tersebut.
John mulai meresahkan. Dia diangap sebagai ancaman nasional. Teleponnya disadap. FBI mengikuti gerak-geriknya. Berbagai tekanan tak menyurutkan langkahnya, justru semakin lantang bersuara. John tak lagi dipandang sebelah mata. Perang memang berakhir di Vietnam, Presiden Nixon mengundurkan diri terkait kasus Watergate.

John mendapatkan kewarganegaraan Amerika Serikat. Ketika ditanya wartawan, saat mendapatkan kartu kewarganegaraannya, di tahun 1974, apakah dia mendedam pada orang-orang yang ingin melemparnya dari Amerika Serikat, John menjelaskan, “Tentu saja tidak. Saya percaya, waktu akan menyembuhkan segalanya.”

Menonton The US vs John Lennon, ada evolusi dalam perjalanan karir John Lennon, sebuah sikap membuat dunia yang lebih baik. Ketika cerita putus cinta, selingkuh, dikhianati pasangan sudah tercurah, ada hal lain yang lebih besar menjadi objeknya. Jujur rindu sosok seperti John Lennon di negeri ini. Musisi yang punya sikap, musisi yang bersuara atas berbagai persoalan yang tak pernah terselesaikan. Mungkin ini mimpi. Tapi John pernah berkata: “A dream you dream alone is only a dream. A dream you dream together is reality. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar