John Lennon lebih dari sekadar musikalitas, tapi juga sikap.
Tiga puluh tahun setelah kematiannya, akibat timah panas yang dimuntahkan dari
pistol penggilanya Mark David Chapman, di depan apartemen mewahnya Dakota, New
York, tak membunuh pesan-pesannya. ''They tried to kill John, but they couldn't
because his message is still alive,'' kata Yoko Onno, istrinya. Toh dunia juga
belum berubah. Mimpi melihat dunia lebih damai, dunia tanpa perang, dunia tanpa
lapar, dunia tanpa sifat tamak manusia, dunia tanpa ideologi jauh dari
terwujud. Sebagaimana yang ditulisnya di lagu Imagine. Mimpi? Tapi John bukan
satu-satunya yang menginginkan bumi tanpa konflik, bumi tanpa perang. Bumi yang
ramah buat penghuninya.
Di penghujung hidupnya, John memang berubah. Bubarnya The
Beatles, pernikahannya dengan Yoko Onno membuatnya tak lagi menutup mata pada
kondisi dunia yang compang-camping dan berdarah-darah di masa puncak
kedewasaannya era 60-an. Zaman yang melahirkan generasi bunga, sebagai bentuk
aksi terhadap perang yang menggila, dan ancaman bom nuklir. Invasi Amerika
Serikat ke Vietnam. Munculnya blok barat dan timur, ideologi yang membuat dunia
terbelah dua, membuatnya gelisah. Film dokumenter The US vs. John Lennon yang
dirilis tahun 2006, mampu memotret evolusi seorang John Lennon. Dari anggota
sebuah band raksasa, menjadi aktivis perdamaian sekaligus humanitarian.
Lagu-lagunya sarat dan sesak akan pesan perdamaian, bahkan
menggugat. Bayangkan saat pemerintahan Nixon menyuruh dan membujuk orang muda
di AS untuk ikut wajib militer, guna menambah pasukan di Vietnam, John bersikap
dengan membuat lagu I Don`t Want To Be A Soldier. Sebuah lagu yang menohok
kebijakan negara adikuasa. Upaya untuk menularkan perdamaian pada banyak orang,
bukannya tak mengundang kritik. Bahkan Paul Mc Cartney, mantan anggota Beatles
ikutan bereaksi menyindir lewat lagu Too Many People, Too many people preaching
practices / Don’t let ‘em tell you what you want to be.
John sadar popularitasnya, bisa memengaruhi banyak orang.
Bulan madunya bersama Yoko, disulapnya menjadi panggung perdamaian. Kamar tidur
hotelnya, dibuka untuk umum. Di atas jendela kamar tidur, pamflet distemper
dengan pesan-pesan perdamaian. John dan Yoko mengundang siapa saja untuk
berdiskusi dan berdebat soal perdamaian dan antikekerasan. Dia sangat sadar,
media yang haus akan pemberitaan dirinya, bisa dimanfaatkan untuk menyampaikan
gagasan, menciptakan dunia lebih damai. Walaupun kritik tetap saja muncul. Apa
yang mereka lakukan? Bagaimana mengubah dunia jika dari atas tempat tidur?
Inilah pemanfaatan status selebritas paling positif, yang
pernah dilakukan. Dari sini jugalah lagu yang terkenal Give a Peace a Chance,
direkam dari kamar hotel. Lagu yang dinyanyikan jutaan aktivis perdamaian
ketika protes antiperang Vietnam kian menghebat di awal tahun 70-an. Tak hanya
itu, ketika dunia tengah demam Natal, dia membuat Bilboard di tujuh kota
penting dunia dengan pesan singkat, War Is Over, If You Want It Happy Christmas
from John and Yoko.
Perkenalannya dengan aktivis anti perang Jerry Rubin, Bob
Seale, David Dellinger di Amerika Serikat kian meresahkan penguasa, termasuk
Nixon. Sang presiden khawatir John bakal meracuni pikiran orang muda dengan
aksi anti perang dan gerakan perdamaiannya. ApalagI para aktivis tersebut kini
punya sosok popular yang memudahkan penyampaian pesan dan kritik terhadap
pemerintahan yang gila perang.
Keberadaannya di AS, dipertanyakan pihak imigrasi,
permintaan untuk menjadi warga negara ditolak. Bahkan dia diancam dideportasi
dengan alasan kepemilikan ganja. Berbagai upaya dilakukan untuk mengembalikan John
ke kampung halamannya, Inggris. John memang mulai didengar, aksinya mulai
diperhatikan. John Sinclair aktivis antiperang yang dihukum 10 tahun penjara,
dibebaskan dua hari setelah John ikut gabung di konser pembebasan sang aktivis,
Free John Now Rally di Ann Arbor's Crisler Arena December 1971. John
menciptakan lagu khusus untuk Sinclair : If he had been a soldier man/ Shooting
gooks in Vietnam/ If he was the CIA/ Selling dope and making hay/ He'd be free,
they'd let him be/ Breatthing air, like you and me.
John Sinclair dalam film dokumenter itu mengaku, kehadiran
dan lirik John yang membuatnya dibebaskan. “Lihat siapa itu yang menyanyikan
lagu untuk John Sinclair, itu John Lennon dari The Baeatles, pasti ada hal yang
salah terhadap penangkapan saya,” kata John Sinclair di film dokumenter
tersebut.
John mulai meresahkan. Dia diangap sebagai ancaman nasional.
Teleponnya disadap. FBI mengikuti gerak-geriknya. Berbagai tekanan tak
menyurutkan langkahnya, justru semakin lantang bersuara. John tak lagi dipandang
sebelah mata. Perang memang berakhir di Vietnam, Presiden Nixon mengundurkan
diri terkait kasus Watergate.
John mendapatkan kewarganegaraan Amerika Serikat. Ketika
ditanya wartawan, saat mendapatkan kartu kewarganegaraannya, di tahun 1974,
apakah dia mendedam pada orang-orang yang ingin melemparnya dari Amerika
Serikat, John menjelaskan, “Tentu saja tidak. Saya percaya, waktu akan
menyembuhkan segalanya.”
Menonton The US vs John Lennon, ada evolusi dalam perjalanan
karir John Lennon, sebuah sikap membuat dunia yang lebih baik. Ketika cerita
putus cinta, selingkuh, dikhianati pasangan sudah tercurah, ada hal lain yang
lebih besar menjadi objeknya. Jujur rindu sosok seperti John Lennon di negeri
ini. Musisi yang punya sikap, musisi yang bersuara atas berbagai persoalan yang
tak pernah terselesaikan. Mungkin ini mimpi. Tapi John pernah berkata: “A dream
you dream alone is only a dream. A dream you dream together is reality.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar